Ingrid Goes West (2017)--Instagram dan segala isu sosial di dalamnya



 https://www.ericdsnider.com/wp-content/uploads/2017/08/Ingrid-Goes-West.png
Ingrid (Aubrey Plaza) baru saja ditinggal meninggal oleh ibunya, satu-satunya sahabatnya. Sejak itu, dia obsessed buat nyari sahabat baru lewat instagram. Yap. Nyari sahabat, di instagram. Surprisingly, nyari sahabat itu ternyata jauh lebih susah daripada nyari pacar. Obsesi Ingrid jatuh ke seorang selebgram, Taylor (Elizabeth Olsen), yang hidupnya terlihat begitu sempurna. But there’s something wrong with Ingrid’s way.
 ---
Instagram is the new hype. Orang-orang sudah mulai meninggalkan facebook dan twitter, kemudian beralih ke instagram. Dulu ketika instagram pertama kali keluar, gue sendiri agak bingung dengan konsepnya. All you have to do is snap a picture and post it, then your followers could comment and like the photo you’ve shared. Sebenarnya itu sih cuma bagian kecil fitur dari facebook. Tapi mungkin karena fokus ke foto aja, makanya instagram berhasil menjadi sosial media yang paling hype saat ini.

Gue pernah baca di suatu penelitian bahwa instagram adalah sosial media yang paling bikin depresi. Logis sih. Kalau lo liat feed selebgram, mereka memunculkan foto-foto yang keren, seakan hidup mereka sempurna. Tempat yang mewah. Baju-baju bagus. Makanan yang keliatannya enak banget. Life is perfect. Terus, lo liat diri lo sendiri dan membandingkan hidup mereka sama hidup lo. Kok hidup gue gini banget ya?

Ya padahal, hidup itu nggak seindah feed instagramnya Gisel.

Nah, film Ingrid Goes West ini sukses mengangkat dua isu sosial yang menurut gue jadi masalah buat kaum milenial. Yang pertama adalah masalah instagram. Seperti yang gue sebutkan di atas, kayaknya sekarang selebgram adalah status sosial paling tinggi. Everyone is obsessed with instagram. Gue sendiri dulu pernah sempat mengalami sindrom ini. Gue sempet beli kamera mirrorless. Gue pernah liburan dan memberikan porsi besar untuk foto-foto dibandingkan menikmati perjalanan. Gue pernah seharian ngeliatin timeline instagram doang.

Kayaknya turning point nya di suatu hari, gue ketemu sama temen gue. Terus kita banyakan foto-fotonya dibandingkan ngobrolnya. Dan gue mulai berpikir, wah ini udah mulai gak sehat.
Don’t get me wrong, gue masih tetep suka foto-foto ketika jalan sama temen gue. But before instagram, I was never that kind of person. Gue pun udah mulai kurang-kurangin. Foto-foto masih boleh, asal nggak ngambil porsi waktu yang lebih banyak dibandingkan quality time nya.

Sebenernya ngurangin liat feed instagram (atau posting di instagram) adalah salah satu bagian dari misi gue sendiri untuk mengurangi kecanduan gue terhadap handphone. Yap, I said it. Gue pernah mengalami adiksi terhadap handphone. Gue gak bisa hidup tanpa handphone. That explains why kicauan gue di twitter kayaknya puluhan ribu deh. Looking back at those times, gue sebenernya gak ngerasa hidup gue kebuang sia-sia sih. Karena biasanya gue nggak pegang handphone buat stalking orang doang. Biasanya gue googling hal-hal yang menurut gue menarik. Makanya, kalau sekarang lo tanya perihal kasus pelecehan seksual yang dilakukan Woody Allen terhadap anak angkatnya atau siapa itu Josef Mengele, gue tau.

Cuma, susahnya gue jadi susah untuk ngobrol. Gue susah untuk mengutarakan apa isi kepala gue. Dan ini parah sih.

Aduh jadi ngelantur ya, balik lagi ke Ingrid Goes West. Dia mengangkat gimana sebenernya feed instagram selebgram yang lo liat itu sebenernya nggak sesempurna itu. Banyak pengorbanannya. Banyak social climber yang bakalan lo temuin.

Isu sosial kedua yang diangkat di sini adalah: loneliness kills.

Ingrid jadi gila kayak gini karena dia kesepian. Dulu dia punya ibunya, satu-satunya sahabat dia. Dan ketika ibunya meninggal, dia nggak tau mau gimana lagi. She has no one. Dengan social skill nya yang terbatas, dia mencoba mencari teman di instagram. Tapi dia emang nggak punya kemampuan dasar untuk berteman, jadi caranya salah.

Seiring bertambahnya usia, kasus kayak Ingrid ini bakalan mulai menjadi realita. Ketika lo sekolah, teman lo banyak. Or at least, you can call them your friends. Ketika lo kerja, temen lo akan mengerucut. Belum lagi banyak filter yang akan lo aplikasikan dalam memutuskan dia pantes jadi temen lo atau nggak (because you deserve to throw toxic people out of your life). Kemudian, jeng jeng, lo tersadar kalau temen lo sangat sedikit dan bahkan lo nggak punya temen.

Ketika lo mencari teman baru, atau yang dalam kasus Ingrid butuhkan ini adalah sahabat, lo nggak bisa serta merta kenalan sama orang dan jadiin dia sahabat lo. Terlebih ketika lo perempuan. Nope. The treatment is different. Butuh bonding, butuh understanding, butuh chemistry. Damn. Nyari sahabat baru itu jauh lebih susah dibandingkan nyari pacar.

Kata-kata gue akan menjadi nggak konsisten ketika gue kasian sama Ingrid yang gila, tapi gue juga nggak mau punya temen toxic kayak gitu di hidup gue. Sampai sekarang gue merasa ini masalah yang nggak ada solusinya kecuali Ingrid harus keep searching. Karena sahabat itu cocok-cocokan. Mungkin kalau dia terus mencoba, akan ada orang yang cocok sahabatan sama dia, dan dia nggak perlu maksain orang yang emang gak cocok sahabatan sama dia.

Selain dua isu sosial di atas, gue sangat kagum sama film ini karena production value nya bagus, banget! Gue suka scriptnya yang rapi dan penuh konflik, thrilling in a way. Gue suka cast nya yang kayak born to star in this movie. Gue suka banget Aubrey Plaza yang brilian tapi tetap cantik, Elizabeth Olsen being the perfect Elizabeth Olsen, dan anaknya Ice Cube yang maniiiiiiis banget. Gue suka tone warna di film ini yang bikin serasa kayak lagi buka feed instagram. This is one of the best movies in 2017, i think.

8/10

Comments