Sexual harassment, bermula dari institusi pendidikan

Jadi beberapa waktu yang lalu, gue bertugas menjadi pencacah sebuah survei. Dengan teknik panel, artinya sampel yang gue cacah akan sama dengan sampel tahun lalu. Tersebutlah responden yang profesinya merupakan seorang guru. Tahun lalu, Pak Guru ini memang lumayan susah untuk didata. Terlihat berkelit dan ingin membingungkan pencacah. Pokoknya tipikal bapak-bapak menyebalkan deh. Istri beliau juga kerja di sekolah yang sama, sebagai guru juga.

Karena gue nggak menemukannya di rumah, maka gue langsung ke sekolahnya yang notabene nya tinggal nyebrang doang dari rumah. Di sana gue mencari si Pak Guru ini. Akhirnya, setelah bel sekolah bunyi, gue bisa bertemu sama si Pak Guru.

Demi apapun, Pak Guru ini sangat menyebalkan. Beliau berbelit-belit dalam menjawab, sempat menolak juga. Tengil. Bahkan di depan teman-temannya yang sedang berada di ruangan yang sama itu, dia menjawab dengan gaya menyebalkan. Bahkan istrinya duduk di sebelahnya, dan dia tetap menyebalkan!

Gue mendata dengan jengkel. Tapi ada satu hal yang menurut gue bikin gue kesel banget.
Ketika di tengah wawancara, seorang guru perempuan masuk ruangan dan melintas di samping kursi Pak Guru. Lo tau apa yang dia lakukan?

Dia tepok pantatnya. Dan posisinya istrinya itu ada di sebelah Pak Guru ini. Gimana coba!

Gue memang coward. Gue akui. Gue nggak berani konfrontasi Pak Guru ini. Pertama, survei yang gue lakukan masih berlangsung. Kedua, gue nggak mau mempermalukan Pak Guru ini di tempat umum (dan basically kantor dia sendiri). Ketiga, posisi gue sebagai suku outsider memperlemah argumen gue jikalau dia bilang, kamu kan bukan orang sini, jangan ngatur-ngatur orang!

Sepanjang jalan gue mikir. Di institusi pendidikan aja, Pak Guru nya kayak gitu. Gimana muridnya? Kan kalau kata peribahasa: guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Kalau dari awal aja yang dilihat adalah perilaku guru yang seperti itu, gimana muridnya?

Flashback ke masa gue SMP. Gue pernah punya guru PKN yang suka bercanda jorok. Iya, saudara. Guru PKN, for God’s sake. Waktu gue SMP, gue masih belum paham apa maksud dari yang dia bicarakan. Tapi yang gue inget, temen-temen cowok gue pada ketawa setiap guru PKN ini mengatakan hal yang nggak gue ngerti. Satu hal yang paling gue inget adalah ketika guru PKN ini ngomongin tentang salomeh. Tau nggak kepanjangannya apa? Satu lobang rame-rame. Cowok-cowok ketawa terpingkal-pingkal, sedangkan yang cewek kebingungan. Belakangan gue baru tau apa yang dia omongin.

Nggak cuma guru itu saja, banyak kok guru-guru yang menjadikan seksualitas sebagai referensi bercandaan. It’s just so weird that di sistem pendidikan kita yang me-tabu-kan sexual education, mereka malah menjadikannya sebagai bahan bercandaan di sela ngajar. Yang terjadi adalah, murid-murid nerimanya setengah-setengah. Terus apa yang dilakukan? Searching di google. Terus? Dapet link bokep. Terus? You name it.

Gue juga pernah jadi witness temen gue yang dicium pipinya sama guru olahraga gue ketika SD. Saat itu gue nggak tau apa itu sexual harassment. Tapi gue sampai rumah nangis. Karena gue kira temen gue bakalan hamil karena dicium pipinya. Pikiran anak-anak emang ajaib.

Mungkin bagus ya kalau ada sosialisasi tentang sexual harassment di lingkungan pendidikan. Menurut gue, semua orang harus tau batasan-batasan apa yang bisa dibilang sexual harassment. Kalau hal ini dilakukan, mungkin si Bu Guru tadi paham kalau si Pak Guru telah melakukan sexual harassment. Mungkin guru SMP gue bakal sadar kalau dia udah bertindak inaproppriate dalam menjadikan seksualitas sebagai referensi bercandaan. Mungkin temen SD gue bakal sadar kalau guru olahraga gue udah melakukan sexual harassment

Dan perempuan akan hidup lebih aman dan nyaman.

Comments